Merdekakanlah Dirimu Sendiri Sebelum Anda Mulai Memerdekakan Orang lain

Ilmu tanpa agama adalah buta; dan Agama tanpa ilmu adalah lumpuh (Albert Eistein, 1879-1917)

Jumat, 07 Juni 2013

Guru PNS pada Sekolah Yupenkris (GMIT): Peluang atau Ancaman (Kumpulan Opini Dalam Diskusi IKMASTI)

Sebuah Pengantar
Didalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas terkandung makna bahwa pendidikan di Indonesia melibatkan bukan hanya Pemerintah (baik pusat, propinvi maupun kabupaten/kota) melainkan membuka peluang akan terlibatnya lembaga keagamaan dan masyarakat. Perluasan makna ini sebagai akibat dari munculnya otonomi daerah sebagai wujud pelepasan sistem "sentralisasi" menuju "desentralisasi" baik dalam birokrasi maupun untuk pendidikan itu sendiri.

Keberadaan UU ini semakin mempertegas peran hubungan negara dengan lembaga-lembaga penyedia layanan pendidikan baik itu punya negara sendiri ataupun penyedia layanan pendidikan itu milik agama maupun masyarakat. 

Di NTT sendiri, salah satu penyedia layanan pendidikan dikelola oleh Gereja (lembaga keagamaan) dengan didirikannya Yupenkris (Yayayan Usaha Pendidikan Kristen). Dengan keberadaan UU diatas mempertegas bahwa telah terjalin relasi antara pemerintah dan gereja sebagai wujud gereja bukan hanya sebagai media mewartakan Injil namun lebih nyata sebagai bentuk partisipasi gereja sebagai" pemerataan kualitas pendidikan"

Relasi antara negara (pemerintah) dengan gereja sendiri di NTT sebenarnya telah jauh terjalin sebelum munculnya UU Sisdiknas ataupun sebelum Kemerdekaan Indonesia bahkan keberadaan relasi antara negara dengan gereja ini telah melahirkan sekolah-sekolah swasta yang berperan dalam membangun negeri ini berdasarkan semangat yang awalnya membentuk kekristenan (nilai-nilai religiusitas) yang kemudian meningkat menjadi nilai nasionalisme.

Hingga saat ini, sekolah-sekolah swasta yang konvensional (baca: sejak dulu ada) tersebut tetap eksis namun tidak jarang pula hilang ditengah persaingan dengan bermunculannya sekolah negeri ataupun keberadaan sekolah swasta lainnya yang unggul dalam hal fasilitas maupun hal-hal lainnya yang mendukung keberadaannya. Pemerintah pun tidak tinggal diam dengan matinya sekolah-sekolah swasta konvesional ini, pemerintah mendukung melalui berbagai subsidi/bantuan salah satunya melalui penempatan guru PNS diperbantukan pada Sekolah-sekolah swasta. 

Guru PNS pada Sekolah Swasta Kristen Yupenkris (GMIT)

Dinamika relasi antara negara dan gereja dalam pendidikan berupa subsidi (bantuan) penempatan guru PNS diperbantukan pada Sekolah Kristen Yupenkris (GMIT) telah menimbulkan disatu sisi peluang akan bertahannya sekolah Kristen Yupenkris namun disisi lain, dalam implementasinya dilapangan, memunculkan ancaman-ancaman yang juga muncul dari kebijakan ini.

Penempatan Guru PNS pada Sekolah Swasta Kristen Yupenkris, pada kenyataan di lapangan, telah menimbulkan "pertarungan sengit" dalam menentukan loyalitas pengabdian. Hal ini disebabkan karena minimnya guru (tenaga pendidik) yang dipunyai oleh pihak Yupenkris sehingga keberadaan Guru PNS justru menjadi lebih dominan pada sekolah yang dikelola oleh Yupenkris. Dominannya guru PNS ini menimbulkan loyalitas pengabdian  yang lebih kepada negara yang "memberi makan" guru PNS tersebut dan sebagai akibatnya tidak jarang guru PNS yang ditempatkan pada Sekolah Kristen Yupenkris merasa tidak mempunyai tanggung jawab apa-apa kepada Yupenkris padahal  sekolah tersebut masih tetap milik Yupenkris dan lebih memberikan tanggung jawabnya kepada negara yang telah "mengutusnya". Disamping itu, guru-guru PNS yang ditempatkan pada Yupenkris juga kurang memahami visi dan misi dari penyelenggaraan pendidikan oleh Yupenkris sehingga nilai-nilai yang hendak dicapai oleh Yupenkris justru tidak dapat ditafsirkan secara nyata didalam lingkungan penyelenggaraan pendidikan dibawah naungan Yupenkris. 

Fenomena yang diuraikan diatas, mempunyai efek "domino" pada hal lainnya. Keberadaan guru PNS pada Sekolah Kristen Yupenkris dimana guru-guru tersebut digaji oleh negara; yang biasanya lebih baik bila dibandingkan dengan guru Yupenkris; telah menimbulkan masalah psikis dimana semua tenaga pendidik (guru) Yupenkris lebih memilih untuk menjadi PNS dikarena lebih terjamin saat ini dan pada masa tuanya (adanya pensiunan). Disamping itu, hal ini juga didukung oleh pekerjaan dari seorang guru Yupenkris yang biasanya lebih banyak dari guru PNS yang diperbantukan karna guru Yupenkris harus melakukan tugas yang rangkap baik sebagai pengajar maupun tugasnya sebagai administrasi (laporan) maupun bendahara untuk dilaporkan sebagai bentuk pertanggungjawabannya sebagai utusan dari Yupenkris. 

Patut dicatat bahwa dana yayasan yang terlalu sedikit selalu dijadikan jawaban atas sebuah pertanyaan "mengapa guru PNS dominan di Sekolah Kristen Yupenkris"? Dalam hal dana memang harus dikatakan bahwa sekolah Kristen Yupenkris memang didirikan ditengah-tengah masyarakat yang berisikan strata/kelas ekonomi menengah ke bawah bahkan dominan dapat dikatakan ekonomi bawah sehingga dana yang dikeluarkan untuk operasional sekolah tidak sebanding dengan dana masuk sebagai biaya pendukung operasional sekolah tersebut. Dengan kata lain, uang yang dibebankan kepada orang tua siswa tidak mencukupi untuk menghidupi sekolah kristen Yupenkris namun untuk menaikkan uang tersebut tidak juga bisa karena memang golongan yang masuk pada Sekolah Kristen Yupenkris adalah golongan bawah. Hal ini memaksa Yupenkris untuk bekerjasama dengan negara dalam hal pembiayaan misalnya subsidi BOS dan lain sebagainya. 

Namun, kita juga tidak dapat menutup mata bahwa kehadiran guru PNS di Sekolah Swasta Kristen telah membawa eksistensi sekolah Kristen Yupenkris sampai saat ini masih tetap bertahan. Tetapi tentunya kita perlu mewaspadai bahwa pada suatu titik kritis tertentu akan muncul Sekolah "semi negeri" dimana sekolah tersebut tetap bernama Sekolah Kristen namun semua manajemen dan operasional didalam sekolah tersebut dipegang dan diatur oleh negara.  Hal ini bisa terjadi sebagai dampak dari putusnya komunikasi antara negara dengan Yupenkris sehingga masing-masing berdiri sendiri dan berusaha untuk berlomba berkompetisi. 

Dan bila kita pada akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Sekolah Kristen Yupenkris telah "Hidup Enggan Mati Tak Mau" maka harusnya kita juga patut mengetahui bahwa Sekolah Kristen Yupenkris dalam perjalanannya tidak dapat lepas dari kerjasama negara dan gereja dalam pendidikan sehingga alangkah lebih elok kalau kita berani berkata bahwa eksistensi Yupenkris adalah tanggung jawab  negara dan pada gereja dan kedua-duanya harus legowo (rela) untuk disalahkan. Sehingga "Hidup Enggan Mati Tak Mau" lebih baik diubah menjadi "Gereja Enggan Negara Tak Mau" sebagai kesimpulan atas matinya Sekolah Kristen Yupenkris.

Ditulis berdasarkan hasil diskusi IKMASTI Tanggal 7 Juni 2013 di Cafe Leker.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar