Merdekakanlah Dirimu Sendiri Sebelum Anda Mulai Memerdekakan Orang lain

Ilmu tanpa agama adalah buta; dan Agama tanpa ilmu adalah lumpuh (Albert Eistein, 1879-1917)

Rabu, 06 Juni 2012

Orang Rote Dan Sejarah Pendidikannya (Part 1)

Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat fundamental pada jaman ini; bahkan kemajuan suatu negara/bangsa ditentukan oleh tingkat pendidikan yang tumbuh dan berkembang di dalam negara tersebut. Pendidikan telah muncul sejak dahulu kala sejak berkembangnya kebudayaan mula-mula. Saat ini, pendidikan hampir disamakan dengan sekolah; walalupun sebenarnya hal ini tidak benar. Tulisan ini ingin mengulas sejarah panjang pendidikan di Rote Ndao; Salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur. 

SEJARAH PENDIDIKAN DI ROTE
Kacang hijau yang kini merupakan bahan pangan yang tidak berarti
dan hanya ditanam dibeberapa pekarangan di Pulau Rote, 
telah membiayai permulaan dari 
sistem pendidikan di Rote (James Fox, 1995;153)

Sejarah pendidikan di Rote tidak bisa dilepaskan dari adanya pengaruh Agama Kristen; walaupun saat itu Agama Kristen lebih sering dipakai sebagai suatu alat politik dari para Raja Rote untuk mempertahankan kekuasaannya atas kerajaannya. Hal ini disebabkan karena apabila seorang Raja beragama Kristen maka Raja tersebut beserta kerajaannya mempunyai hak untuk tidak memberikan upeti dalam hal budak kepada kerajaan dibawah kekuasaaan Belanda (upeti lain tetap berlaku misalnya pemberian kacang hijau, lilin lebah dan jewawut) dan juga apabila Raja dengan "kerajaan kristen" nya diserang oleh Raja lain yang belum menganut agama kristen (agama pribumi) maka Raja "kristen" tersebut akan mendapat bantuan dari Belanda dalam hal persenjataan atau bahkan juga bantuan Belanda dalam bentuk pasukannya. James Fox (1995;144) "Dengan memeluk agama Kristen, mereka memperoleh status sosial yang lebih tinggi; dan demikian pula dengan status hukumnya. Orang pribumi yang menjadi Kristen, tidak lagi terikat pada hukum adat yang berlaku dalam berbagai masyarakat pribumi.

Tahun 1729 merupakan awal pendidikan di Rote diawali dengan dibaptisnya Raja Thie, Poura Messa  (atau Mbura Messa) menjadi seorang Kristen (beliau meninggal setelah habis dimandikan). kemudian Putranya, Benjamin Messa (FoE Mbura merupakan nama pribuminya) menggantikannya menjadi Raja Thie. Sebagai raja baru, permintaan Benjamin Messa yang pertama adalah seorang Guru (lihat Fox, 1995;147). Seorang Kristen dari Kupang bernama Johannes Senghadje dikirim untuk memenuhi permintaan sang raja (namun kemudian karena adanya tuduhan bahwa Senghadje, Messa dan Raja Bilba berkomplot untuk membentuk sebuah kerajaan baru maka Senghadje dipecat dan Messa ditahan)
Tahun 1735 Benjamin Messa dilepaskan. Permintaan Messa tetap seorang Guru dan Kompeni menunjuk seorang Ambon Kristen, Hendrik Hendriks menggantikan Senghadje menjadi guru sekolah di Thie.
Fox (1995;150) mencatat bahwa permohonan pertama dari setiap Raja Kristen biasanya adalah untuk mendapatkan seorang guru guna mengajar agama dalam bahasa Melayu. Menurut saya tentu ini merupakan sesuatu hal yang aneh yang bagi saya baru pernah terjadi dimana sekolah-sekolah di Rote menggunakan bahasa asing yaitu bahasa Melayu, bukan bahasa Rote dalam proses pengajarannya. Adanya seorang guru, membantu pengesahan suatu kerajaan menjadi "kerajaan kristen". Disamping itu, dimata orang Rote (umumnya para bangsawan), tampaknya memberi keuntungan dalam berhubungan dengan Belanda.
Faktanya adalah ternyata orang Rote telah mempelajari bahasa melayu sejak tahun 1729 yang mana awalnya di pelajari dari para guru dari Ambon. Hal ini berarti sebelum malaysia pada tahun 1970-an memperkenalkan bahasa melayu sebagai bahasa malaysia dan Indonesia pada tahun 1928 menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa indonesia yaitu bahasa pemersatu. Ternyata bahwa orang-orang Indonesia Timur telah mengenal terlebih dahulu bahasa melayu, uniknya Rote memulainya pada tahun 1729 jauh sebelum Indonesia dan Malaysia.


Guru pertama yang dikirimkan ke Rote adalah tanpa ketentuan pembayaran. Namun seiring dengan semakin banyaknya permintaan guru oleh "kerajaan kristen" baru di Rote maka Belanda (kompeni) mulai menerapkan pembayaran. Pembayaran waktu itu adalah dengan kacang hijau. Dengan adanya tambahan biaya untuk guru, maka upeti kacang hijau makin meningkat dimana awalnya pada tahun 1711 hanya 2.92 pon pada tahun 1733 menjadi 15.667 pon dan di  tahun 1751 menjadi 28.500 pon.

Tahun 1755 telah ada enam (6) sekolah di Rote yaitu di Oenale, Dengka, Termanu, Bilba, Ringgou dan Landu dengan jumlah siswanya 3.000 orang anak, tentunya diluar sekolah di Thie (Fox, 1995;152).
Mahalnya biaya seorang guru yang harus ditanggung oleh sebuah "kerajaan kristen" maka raja-raja ini mengirim surat kepada Gubernur Jenderal di Batavia untuk menurunkan harga bayaran tersebut.

Tahun 1756 bersamaan dengan perjanjian Paravicini, upeti untuk pembayaran guru juga diturunkan.
dengan adanya desakan dari raja-rajanya, angkatan pertama dari pemuda Rote yang telah belajar bahasa melayu disekolah-sekolah setempat mulai mengambil alih guru-guru dari Ambon untuk mengajar disekolah-sekolah tempat dimana dia berada.

Tahun 1765 semua sekolah yang ada di Rote mulai menerapkan sistem sekolah sendiri dengan sebagian biaya ditanggung langsung oleh kompeni (Fox 1995;153)


Selanjutnya, sistem pendidikan yang timbul dibantu  oleh kacang hijau itu,  
membawa suku bangsa Rote ke suatu status yang unik 
diantara suku-suku bangsa lain di Indonesia Timur (James Fox, 1995;154)
Mereka membentuk sendiri sistem sekolah 
dimana putra terbaik mereka mengajar disekolah





Sejarah Pendidikan Rote hingga bisa membentuk sistem sekolah sendiri pada tahun 1765  diatas karena beberapa faktor :


Faktor Pertama dan Utama: Adanya keinginan dari para Raja (saat ini para elit ) untuk lebih mementingkan adanya guru dibandingkan semua hal menarik lainnya.
Faktor Kedua : Keinginan para raja (saat ini para elit) untuk bisa memprotes kebijakan-kebijakan dari pemegang kebijakan (Gubernur Jenderal di Batavia) yang dinilai terlalu memberatkan (dalam hal masa lalu, upeti untuk guru) agar pemenuhan guru dalam menjalankan pengajaran di sekolah tetap berjalan.
Faktor Ketiga : adanya putra (saat ini juga dibutuhkan putri) terbaik untuk ditempatkan menjadi guru bukan karena menjadi guru karena terpaksa dan merupakan pilihan terakhir.
Harapannya, Sejarah bisa mengajari kepada kita semua hal-hal yang baik dan melupakan hal-hal buruk yang telah dilakukan dalam sejarah bukankan itu yang diajari dalam agama Kristen untuk mengingat kebaikan seseorang namun melupakan keburukannya ? biar kiranya kita selalu ingat apa yang dikatakan oleh Bapak Proklamator kita  Ir.Soekarno JAS MERAH (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah).

2 komentar:

  1. Tempat mendirikan Sekolah di Nusa Tenggara Timur masa Hindia Belanda adalah di Pulau Rote. Pilihan Belanda ini dikarenakan Orang Rote, cerdas dan pandai, dan suka menerima sesuatu yang baru dengan contoh2 konkrit dan yang akan membawamanfaat kepada mereka. Tujuan dari penmdidikan oleh Belanda adalah menciptakan orang pintar dan cerdas yang nantinya membantu Belanda dalam berbagai bidang guna menggantikan tenaga Belanda yang mahal jika didatangkan dari negeri Belanda. Dengan demikian hampir di banyak bidang mulai dipekerjaan Orang2 Rote sudah berpendidikan antara lain sebagai pegawai bawahan Belanda yang disebut Klerek. Dalam satu kantor pemerintah Belada hanya terdapat 2-3 orang Belnda tetai semua pegawai bawahan umumunya adalah orang Rote. Selain itu dipekerjakan sebagai tenaga kesehatan membantu dokter Belanda. ada pula yang diangkat jadi polisi dan tentara KNIL Belanda. Umumnya anak -anak Raja didik ketingkat yang lebih tinggi dari kelas 3, dan setelah tamat mereka diberi tugassebagai Pamong Praja yang ditempatkan hampir di pulau-pulau besar di NTT seperti di Sumba, Ende Flores, Alor dan daerah-daerah di daratan pulau Timor. Di pulau Rote telah dibangun juga Sekolah Pendera dan Guru. Dari tamat-tamat ini banyak guru dan pendeta ritugaskan hampir seluruh NTT, dan ada pula dikirim ke Sumbawa Besar, karena pada saat itu Pulau Sumbawa termasuk wilayah pemerintahan Pulau Timor dengan Pulau-pulaunya. Dan setelah Indonesia Merdeka hampir disemua Instansi Pemerintah Kepalanya adalah orang Rote. Pada zaman Belanda anak-anak darei para Raja-raja dan Giuru-guru, setelah tamat belajar di pulau Rote, melanjutkan sekolahnya ke Kupang dan ada yang ke Makassar melantkan sekolahnya disana. Salah satu putra Rote yang menjadi Residen yaitu Residen Pello menjabat sebagai wakil Gubernur di Zaman Belanda berkedudukan di Sinmgaraja Bali. Beliau ini juga yang mendapat mandat guna membentuk Provinsi NTT pada tahun 1958. Dan banyak dari cendikiawan Rote, sebagai SDM memiliki jabatan tingkat Nasional d Jakarta, al. Prof DR.W.Z.Johannes, DR.Andrianus Mooy, Mantan Gubernur Bank Sentral atau Bank BI, Drs.Nelu sebagai Direkrur BNI, Drs.Alex Sereh sebagai Direktur BI dll yang tidak disebutkan satu-persatu disini. Mengenai sejarah pendidikan di Pulau Rote, dapat di baca di Blog saya Berjudul "ROTE PINTAR" Klik : sajjab.blogspot.com. Demikian tanggapan saya semoga ada manfaat. Terima kasih dari Drs.Simon Arnold Julian Jacob--Alamat : Jln.Jambon I/414J-Kricak - Jatimulyo - Jogjakarta--HP.082135680644 -- Email : saj_jacb1940@yahoo.co.id

    BalasHapus
  2. Untuk mengetahui sejarah pendidikan dan agama di Rote/Ndao, terdapat beberapa catatan/naskah dan akhir2 ini sudah bebepa tulisan, al tulisan saya (Paul A. Haning)yang berjudul : Foe Mbura : Raja, Pendidik dan Penginjil.

    BalasHapus